Sahdan, nama kampung atau desa yang ada di Indonesia ini pada umumnya
diberi nama berdasarkan kisah atau tokoh yang membuka tanah (lahan)
tersebut demi untuk mengenang kejadian atau kisah, serta tokoh tersebut.
Begitu juga dengan nama Kelurahan Setapuk ini, yang dulunya masih
wilayah Kabupaten Sambas disebut kampung Setapok.
Ceritanya bermula pada saat kerabat Kesultanan Sambas pergi ke
Singkawang mereka ingin membuka lahan untuk bercocok tanam. Mereka
membawa berbagai perlengkapan untuk dalam perjalanan dan bermalam yang
cukup lama. Parang, cangkul, pisau, panci, kenceng, pakaian, dan
lain-lainnya. Begitu juga dengan bahan makanan, beras, ikan asin, cabai,
bawang merah dan bawang putih, garam, mecin, dan banyak lagi yang
lainnya. Mereka bertolak (berangkat) dari Sambas lima buah bangkong (sampan
besar) dengan lima kepala keluarga, yang terdiri dari 10 orang. Dari
Sambas mereka mendayung bangkong (sampan besar) menuju arah Singkawang,
mereka masih mencari-cari di mana tempat yang cocok untuk membuka lahan
untuk pertanian atau perkebunan. Beberapa tanjung dan muara sudah mereka
lewati. Tidak terasa sudah 2 hari mereka mengayuhkan sampan menuju
destinasi yang belum pasti. Kini hari semakin tinggi dan hampir gelap
(sore menjelang magrib). Namun, mereka masih belum menemukan tempat yang
cocok.
Ketika mereka sedang kelelahan dan mengikut air (beranyut) membiarkan
kemana arus air membawa mereka. Sedangkan perahu mereka rapatkan agar
mereka tetap bersama. Ketika mereka lewat di muara, terdengarlah suara
tepuk tangan yang menggema dan memanggil-manggil untuk menumpang. Mereka
semua mendengar bunyi suara tepukan tersebut, akan tetapi orangnya
tidak terlihat oleh mata mereka. Mereka melihat ke kiri dan ke kanan
serta depan dan belakang, akan tetapi mereka tidak menemukan seorang
pun. Salah satu diantara mereka, yang mereka anggap ketua atau kepala
rombongan berkata kepada mereka. Mereka memanggil orang itu dengan base
(panggilan dalam bahasa Sambas) Bang Allong.
“Bunyi ape ye i, kittak danggar ke?” kata Bang Along kepada teman-temannya.
“Danggar, Long... Nyaring lalu die tadek betappok nak numpang dangngan kitte katenye”, jawab salah seorang dari mereka.
“Tadek ade aku dangngar yang manggel-manggel, oi... oi... oi... katenye...!”, tambah yang lain.
“Cobe kitte nyuak Bang Long, kalli-kalli ajak die ade di tappi!”, tambah yang lain pula.
“Aoklah...
cobe kitte merapat ke suak, mudah-mudahan kitte menemukan urrang yang
nak numpang e, supaye ade juak kawan kitte bekayoh”, jawab Bang Allong.
Akhirnya merekapun memutuskan untuk masuk ke muara. Setelah masuk
ke muara, mereka pun semakin masuk ke dalam dan terpana dengan keindahan
tempat itu. Pohon-pohon rindang dan besar-besar, banyak pohon kelapa
dan pisang. Entah siapa yang telah menanamnya. Mungkin penunggu hutan
(duate) atau kera yang hidup di hutan itu.
“Bagus innyan tempat itto i... macam di Sambas juak ‘a...!”, kata istri Bang Allong.
“Aok i... mungkin ke ittok petunjok i... yang mawak kitte ke sittok?”, kata bang Allong kepada teman-temannya.
“Mungkin kalli Long, mane ‘a... sampai ke dalam tok we, kitte ndak jumpe dangngan urrang yang betappok tadek e”, jawab yang lain.
“Aok i...”, jawab Bang Along singkat. engan salah seorang
“Baiklah,
ittok ari dah nak gallap juak, kitte kamaskan barang-barang, kitte
bemalam disittok. Issok kitte bukka uttan di tempat itok”, kata Bang
Allong menambahkan.
“Mungkin ittok uddah takder kitte tok bukka lahan di sittok”, imbuhnya pula.
Merekapun
mengemaskan barang-barangnya. Menambatkan perahu dan membuat tenda atau
pondok dari semak belukar. Bang Allong memberitahukan kedatangan mereka
kepada duate (penunggu) hutan tersebut yaitu “Datok Panglima Hitam”.
Kini Bang Allong dan kawan-kawannya sudah dapat jawaban dari yang
memanggil-manggil mereka, itu adalah Jin. Menurut mereka itulah suara
Jin Limunan yang ingin menumpang. Mereka bertepuk-tepuk sambil
memanggil-manggil “Oi... oi... oi...” tapi orangnya tidak ada yang
terlihat di tanjung atau di muara.
Setelah semuanya selesai dan
beres serta sudah makan malam, merekapun istirahat. Semuanya tertidur
dengan pulas karena capek beberapa hari mengayuh sampan (ajong). Bang
Along dan istrinya tertidur dengan mimpi yang indah sekali, seakan-akan
mereka sudah membuka hutan itu dan menanaminya dengan bibit padi,
jagung, kacang, dan kedelai yang mereka bawa dari Sambas. Suara binatang
malam yang menakutkan tidak lagi mereka rasakan atau mereka dengar.
Suara burung hantu yang mendayu seakan-akan menyanyikan atau
meninabobokan mereka.
Keesokan harinya, Bang Allong memerintahkan anak buahnya untuk membabat
hutan dan semak-semak yang lebat sekali. Tidak terasa sudah satu minggu
mereka bekerja membuka lahan untuk pertanian dan berladang. Kini
semuanya sudah lapang seluas mata memandang, diperkirakan sudah belasan
hektar. Semak-semak yang sudah kering mereka bakar, semak-semak yang
berserakan mereka tumpuk-tumpukan dan di bakar. Api berkobar-kobar
memakan kayu dan semak serta ranting-rinting yang sudah kering tersebut.
Tanahnya sangat subur dan mengandung pasir atau kerang. Dalam hati
kecil mereka bertanya, dari mana datangnya pasir dan kerang-kerang ini?
Apakah dulunya tempat ini adalah pantai atau lautan?
Beberapa hari
kemudian, mereka pun menanami tempat itu dengan padi, kacang, dan
kedelai, serta rempah-rempah, seperti kunyit, serai, lengkuas, cekur,
dan lain-lainnya untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka pun membuat
pondok yang lebih kokoh dan tinggi, agar binatang buas tidak dapat masuk
ke rumah mereka.
Setelah beberapa lama mereka menetap di tempat itu, akan tetapi tempat itu masih belum punya nama.
Namun, beberapa bulan kemudian, banyaklah orang-orang dari Sambas pergi
belanja, jalan-jalan, pelesiran, atau main ke rumah sanak saudara,
mereka yang ada di Singkawang, mereka jalan laut atau air. Dan bagi
mereka yang lewatpun mendengar hal yang sama seperti Bang Along dan
kawan-kawannya, bunyi orang bertepuk dan memanggil-manggil mereka.
Peristiwa seperti itu sering terjadi, setiap orang yang lewat pasti saja
mengalami kejadian seperti itu. Kemudian orang-orang Sambas dan orang
tempatan (penduduk setempat) menyebut nama tersebut dengan nama
“Setapok”, begitu juga dengan masyarakat pendukungnya. Wallahu aklam
bissawab...
Sumber: CakraWawasan.com
No comments:
Post a Comment